Konfrontasi di Sekitar Kajian Linguistik dan Literatur Modern dari 1900-1960
Banyak hal dapat dilakukan untuk membaca teks kebudayaan. Apa yang sedang bergerak di sekitar peradaban? Kapan Ia berlangsung? Di mana hal itu terjadi dan sampai di mana pengaruhnya? Kenapa hal itu terjadi? Siapa yang memprakarsainya? Dan bagaimana semua itu bisa terjadi? Semua pertanyaan itu harus mampu dijawab dan dijelaskan oleh siapapun yang ingin membacanya.
Suatu kejadian yang memiliki pengaruh besar pada peradaban harus mampu mempengaruhi banyak hal dan memiliki dampak yang luas. Sebagai contoh, Perang Dunia I dan II adalah contoh penting kejadian yang mempengaruhi peradaban dunia. Jutaan jiwa mengalami langsung kelamnya perang. Entah isu agama atau rasial selalu jadi seragam yang memisahkan segelintir orang dengan yang lain.
Akhir perang dunia dan rangkaian kejadiannya sampai sekitar dekade 1950-an menandai pemulihan. Apa yang bisa dilihat adalah munculnya semangat pemikiran positif setelah itu. Pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kongres-kongres antarbangsa setelah itu menandai tingginya harapan untuk mewujudkan perdamaian. Sayangnya, yang menjadi garis besar isu dunia setelah Perang Dunia adalah Perang Dingin serta terbentuknya Blok Barat dan Blok Timur.
Selesai dengan perang dan carut-marutnya politik dunia, apa yang harus bisa dibaca adalah perkembangan pemikiran serta kajian ilmu pengetahuan yang berkembang. Para ilmuwan, filsuf, seniman, sastrawan serta kritikus kebudayaan adalah agen-agen penting yang harus dipelajari untuk lebih lanjut menjelaskan perkembangan kebudayaan.
Satu tokoh penting yang dianggap cukup berpengaruh dan berimplikasi pada diskursus linguistik, literatur, dan filsafat serta kebudayaan secara umum adalah Ferdinand de Saussure. Sejak menuju akhir abad ke-19 Saussure dianggap guru besar linguistik di Barat hingga pada akhir hayatnya di awal abad ke-20 pemikirannya dirangkum oleh para muridnya dalam sebuah buku Course in General Linguistics yang menjadi buku yang banyak berpengaruh pada perkembangan linguistik dan literatur menuju abad ke-20.
Apa yang bisa dilihat setelah pemikiran Saussure dan gerakan pada awal abad ke-20 adalah tingginya minat para ilmuwan dan filsuf untuk menjelaskan simbol-simbol kebudayaan dalam bahasa dan literatur. Kaum-kaum strukturalis dianggap muncul sekitar awal hingga abad ke-20. Munculnya sekolah-sekolah kajian kebudayaan seperti sekolah formalisme di Moskow dan The School of Praha menandai banyaknya diskursus yang berkembang pada masa itu. Tanda yang bisa dibaca dari perkembangan linguistik pada masa itu adalah munculnya pengujian terhadap unsur-unsur kebahasaan seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis.
Dalam kesusastraan, kaum strukturalis seperti Roland Barthes atau William Wimsatt dan T.S. Eliot dengan aliran kritik baru atau New Criticism juga ikut berkembang pada awal abad ke-20. Pemikiran yang muncul dalam kajian sastra strukturalis berusaha mereduksi teks yang berupa karya sebagai satuan bacaan yang harus dikaji secara objektif. Karakteristik yang dapat dilihat dalam kajian yang berkembang berusaha untuk menyingkirkan intensi kepenulisan sebagai unsur yang tidak perlu dijelaskan dalam membaca teks sastra. Pembacaan intensi kepenulisan dianggap subjektif dan dapat membiaskan apa yang seharusnya dibaca dalam karya sastra yang dikaji. Objektifitas dalam kajian sastra harus bertumpu pada teks dengan menjauhkan intensi penulis sebagai bentuk destabilisasi teks.
Selanjutnya menuju pertengahan abad ke-20 tepatnya sampai sekitar dekade 1960-an, muncul lagi diskursus pos-strukturalis yang berusaha menantang bentuk-bentuk kajian sebelumnya. Dalam kajian linguistik kajian formalism yang lebih jauh ingin menjelaskan unsur kebahasaan yang berbentuk sebagai suatu unsur yang dapat diukur. Salah satu karya dan penulis yang perlu diperhatikan pada awal kelahiran formalism linguistik adalah Noam Chomsky. Lewat karyanya yang terkenal, Logical Structure of Linguistic Theory di tahun 1955, ia memberi bobot “logika” terhadap kajian struktural linguistik. Kajian struktur kebahasaan yang dulunya masih bersifat fungsional atau setidaknya mampu menjelaskan satu sama lain, diperinci lewat metode transformational grammar yang Noam Chomsky kembangkan. Ia menguji kategori dalam tata bahasa ke dalam bentuk yang diaplikasikan dan dikaji dalam satuan kalimat.
Pada perkembangannya kajian tersebut mendapat tantangan dari para kaum kognitif yang berpegang pada fungsionalisme dalam menjelaskan unsur-unsur kebahasaan. Para psikolinguis yang berhadapan dengan gejala kebahasaan yang sifatnya lebih nyata dan menghadapi masalah yang sifatnya langsung dengan penutur kebahasaan ingin mengembalikan kajian linguistik yang non-moduler dan bersifat fungsionalis dalam menjelaskan. Bagi kaum kognitif, gejala kebahasaan yang timbul dan berkembang setiap hari tidak dapat dengan mudah dijelaskan oleh suatu konsep universal kebahasaan dan lebih jauh dikuantifikasi. Kajian yang sifatnya terus-menerus harus terus dilakukan untuk menjelaskan gejala kebahasaan ini.
Di lain sisi, kajian sastra mengalami tantangan juga perkembangan. Martin Esslin misalnya, dalam sebuah tulisan berjudul “A Search for Subjective Truth” mengatakan bahwa kajian strukturalis atau formalis yang diaplikasikan dalam karya sastra dapat menjadi ancaman dalam pembacaan. Adanya “hukum” dalam mengkaji karya sastra dapat membunuh kajian sastra. Martin menjelaskan bahwa seni dan sastra berurusan dengan kebenaran subjektif. Ia tak seharusnya memiliki aturan-aturan baku dan bersifat sebagaimana pengetahuan tapi bersifat seni. Bagaimanapun, diperlukan sensitivitas dan pengetahuan yang didalami untuk melakukan kritik karena bagaimanapun seseorang yang tidak berurusan dengan satu bentuk seni tertentu dapat menjelaskan bentuk tersebut.
Di lain sisi, tokoh penting lain yang dianggap berpengaruh pada dekade 1960-an adalah Jacques Derrida. Metode dekonstruksi yang ia kembangkan berusaha untuk melakukan kritik seimbang pada karya sastra atau pembacaan simbol kebudayaan secara umum. Bermula dari pendekatan oposisi biner dari semiologi Saussure misalnya, kajian terhadap karya saat itu dinilai harus mampu menjelaskan unsur serta oposisinya. Kesadaran ini diungkapkan Derrida saat berusaha memahami semiologi oposisi biner yang menurutnya saat diterapkan untuk mengkaji teks dapat dilakukan untuk melakukan kritik yang seimbang. Pada dasarnya oposisi biner ini disebabkan oleh adanya pemahaman bahwa suatu penanda baru mendapatkan maknanya ketika ia memiliki lawan (oposisi).
Dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melakukan kritik seimbang dan mengembalikan teks terhadap pembacanya, dekonstruksi berusaha untuk mengurangi penafsiran yang mencari dominasi salah satu unsur struktur. Memahami semiologi oposisi biner dalam melakukan dekonstruksi adalah kunci penting melakukan pendekatan ini.
Apa yang bisa dilihat dari perkembangan diskursus linguistik dan literatur sampai dekade 1960-an adalah banyaknya aliran-aliran yang berkembang serta banyaknya “tantangan” di antara aliran yang berkembang tersebut. Sejarah mencatat Perang Dunia sebagai bentuk konfrontasi. Perkembangan diskursus linguistik dan literatur sampai dekade 1960-an juga mencatat banyak konfrontasi. Konfrontasi yang dilakukan para ilmuwan, filsuf, seniman, sastrawan, dan budayawan dalam usahanya menafsirkan sesuatu tidak merenggut korban jiwa sedikitpun. Setiap aliran, pandangan, konsep, dan ideologi memiliki kebenarannya masing-masing. Sayangnya sedikit yang bisa menilai bahwa proses pembacaan simbol-simbol kebudayaan lebih penting ketimbang kesimpulan yang akan didapat. Setiap sisi memiliki kebenarannya masing-masing.