top of page
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.

PUNK, ARSITEKTUR, DAN KOMODIFIKASI


Hal pertama yang muncul dalam kepala saya saat memikirkan keterkaitan antara youth culture dengan arsitektur adalah punk, lebih spesifiknya dengan Thurston Moore, penggawa band Sonic Youth, dan punk/noise rock.

Terdengar cukup tak lazim sih, memangnya apa kaitan punk, Thurston Moore, dengan arsitektur? Saya biasanya memang perlu untuk mencari fenomena pada bidang lain, khususnya bidang yang saya perhatikan kancahnya, untuk kemudian mencari padanan fenomena yang serupa dalam bidang arsitektur.

Punk, bagi saya bukanlah sebatas anak muda compang-camping menggelandang atau mengamen secara bergerombolan dengan sebuah ukulele di jalanan. Lebih dari itu, punk adalah sikap. Sikap untuk selalu menjadi kritis terhadap situasi yang ada . Mungkin secara umum mereka memang tak bisa dilepaskan dari stereotipe penampilan nyentrik, baju compang-camping, rambut nyeleneh seperti mohawk atau plontos tanpa sehelai rambut. Tetapi penampilan mereka memiliki makna dan nilai lebih dari itu. Penampilan mereka adalah cerminan pemikiran serta idealisme mereka dalam menentang konformitas, keteraturan sistem yang mengekang, kemapanan borju, dan segala bentuk pengekangan atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Keinginan mereka untuk lepas dari sistem yang ada diekspresikan melalui pemboikotan mereka terhadap komoditas produk kapitalis lalu memulai DIY ethics (Do-It-Yourself), suatu gaya hidup untuk hidup mandiri, membuat segalanya sendiri. Suatu upaya untuk mengurangi ketergantungan mereka akan komoditas industri.

Seiring dengan meluasnya eksistensi, paham, dan popularitas segala bentuk budaya punk, baik itu musik dan cara berpakaian, muncullah para “pedagang oportuinis” yang mengambil unsur budaya mereka untuk lalu mendistribusikan budaya mereka dalam jangkauan yang lebih luas hingga menyentuh khalayak umum. Penyematan unsur-unsur budaya ( simbol, musik, serta identitas visual mereka) pada komoditas yang disebarluaskan oleh industri secara tidak langsung mengurangi nilai- nilai dan makna yang sesunggunya. Memang, ini bukanlah sebuah kejahatan atau pelanggaran peraturan, tetapi bayangkan bila seorang yang bukan punk kemudian berambut mohawk dan memakai atribut budaya punk kemudian menyanyikan lagu menye-menye. Atribut tersebut hanyalah sebatas tempelan dan bukanlah suatu kejujuran berekspresi.

Sebagaimana Thurston Moore, dalam video dokumenter tur mereka “1991: The Year Punk Broke”, yang berkelakar sendiri:

“What do you think about the current state of young rock n roll? Some people see rock n roll as a youth culture,when youth culture becomes monopolized by big business. What ought the youth to do?I think we should destroy the bogus capitalist process thats destroying the youth culture by mass marketing and commercial paranoia behaviour control and the first thing to do is by destroying the record company, do you agree?” (1)

Punk terkomodifikasi, punk sebatas tren gaya berpakaian. Tak peduli apa makna di baliknya.

Komodifikasi

Komodifikasi, mungkin fenomena inilah yang terjadi dalam budaya punk namun juga terjadi dalam dunia arsitektur.

Komodifikasi, adalah bentuk transformasi suatu barang, jasa, atau hal yang tak berbentuk barang (misal budaya) untuk menjadi komoditas. Komoditas lalu dijual untuk menjadi konsumsi publik. Lalu industri produsen komoditas mendapatkan keuntungan dari apa yang diperjualbelikan, dan budaya yang dikomodifikasi pun mendapat atensi publik. (2)

Dalam sistem kapitalis yang serba komersil ini, segala hal diperdagangkan. Apapun itu, selama itu menguntungkan produsen dan pemilik modal secara materi, segalanya dianggap bisa dijual. Tak peduli nilai apa yang terkandung, sejarah apa yang melatarbelakanginya, falsafah apa yang yang mendasari “mangsa” komodifikasi, maka sah-sah saja bila itu dijual ke publik. Kapitalisme mengizinkan komodifikasi untuk terjadi dalam semua hal (hmmm, sebut saja): budaya, green design, makanan tradisional, cinta, seks, skandal selebriti, seni rupa, musik, pokoknya selama itu bisa dikomersilkan secara massif maka dia terkomodifikasi.

Arsitektur dan komodifikasi

Arsitektur tak bisa lepas dari sistem dan tatanan yang berlaku dalam masyarakat, maka dari itu pada konteks masa kini arsitektur pun tak akan bisa lepas dari sistem kapitalisme serta komodifikasi. Ruang menjadi komoditas yang kita gunakan untuk beragam aktivitas. Aktivitas membeli, tertarik pada kemasan dan aktivitas menjual, menjajakan komoditas secantik mungkin secara visual untuk menarik minat pembeli. Segala upaya dilakukan oleh industri untuk menjual barang dagangannya. Dari kebutuhan untuk menjajakan komoditas secara cantik dan mengundang pembeli, desain arsitektur serta interior dijadikan salah satu senjata ampuh untuk mencitrakan produk yang dijual.

Memang, desain dan arsitektur dewasa ini dalam kultur komersil seringkali bergeser konotasi untuk sebatas menjadi papan yang berkata “hey beli aku” dalam berbagai perangai gestur, raut, sesuai dengan citra perusahaan yang menjual barangnya, atau pemilik bangunannya. Desain dan arsitektur menjadi suatu strategi dalam membawa pengunjung ke dalam suasana ala eropa, mediteranian, dan suasana di ujung planet lain mungkin. Dalam skala dan ranah generasi muda mungkin banyak contoh bentukan arsitektur yang membahasakan “hey aku seperti yang ada di majalah Kinfolk” “aku akan membawamu pada nuansa swedia” atau “kalau kamu berdiam diri dalam diriku, kamu akan menjadi mahasiswa paling hits, paling gaul, paling hipster, terlihat classy, sembari menyeruput kopi impor, dan menu makanan dari berbagai penjuru dunia”.

Substansi paling utama dalam arsitektur adalah perkara nilai gagasan, atau sikap batin. Arsitektur bukanlah suatu entitas lepas yang benar pada dirinya sendiri, namun merupakan rangkaian relasi yang majemuk. (3)

Generasi Muda

Komodifikasi sedang berada pada masa puncaknya saat ini. Perkembangan teknologi informasi memungkinkan semua orang untuk bertukar informasi dengan lebih cepat. Stagnansi kebudayaan modern yang krisis akan identitas dan terus menerus menggali budaya lama, yang pada akhirnya

hanya mengadopsi budaya lama secara parsial dan kasat mata saja, turut mendorong pesatnya laju komodifikasi.

Media sosial sangat digandrungi oleh generasi muda dewasa. Sehari saja tak membuka media sosial rasanya seperti manusia yang paling teralienasi. Kini media sosial pun formatnya kian ringkas. Misalnya instagram, pinterest, path, twitter, dimana hanya terdapat pembahasan dengan karakter terbatas, atau media terbatas seperti foto saja. Di samping kegunaannya, menurut saya bila digunakan secara masif, maka eksploitasi dan komodifikasi pun akan terjadi secara masif.

Arsitektur lagi-lagi tak lepas dari fenomena ini. Banyanyaknya publikasi arsitektur yang sebatas foto saja tanpa penjelasan, apalagi ulasan kritis, membuat generasi muda jadi kehilangan daya kritisnya. Setelah mata mereka dibanjiri oleh sangat banyak publikasi arsitektur hingga mereka bingung untuk menentukan yang mana yang baik dan mana yang tidak. Hal yang baik terkadang bisa menjadi sampah visual, dan hal belum tentu baik diagung-agungkan.

Kita sebagai mahasiswa arsitektur mungkin bisa saja “masih” memiliki daya kritis dalam menilai banjir visual arsitektur, tetapi khalayak umum yang tidak dibekali ilmu tentang arsitektur atau lingkungan binaan hanya dapat mengatakan semuanya bagus, dan mengadopsi visual tersebut sebagai tren dan tempelan semata.

Mengutip kata-kata dosen saya: “A picture tells a thousand words”. Sangat disayangkan bilamana, masyarakat khususnya mahasiswa arsitektur , kehilangan daya kritisnya hingga mereka tak lagi bisa membaca “ribuan kata” itu.

Menyeimbangi Komodifikasi

Suatu hari saya pernah membahas ini dengan sahabat saya, dan menghitung jumlah cafe dengan tema industrialis/vintage/midcentury/whatever, dan jumlahnya kurang lebih 50 karya arsitektur, belum ditambah dengan keberadaan yang belum saya ketahui. Tema atau gaya ini juga tengah menjamur di dunia berkat eksploitasi media sosial. Menjamurnya kedai kopi, salon, dan toko-toko produk “industri kreatif” bertemakan industrialis, vintage, mid-century modern, minimalis, eklektik, japanese modernism , whatever pada awal kemunculannya memang terlihat unik, beda dari yang lain. Namun bila komodifikasi tema itu terjadi secara masif dan hanya menjadi tren belaka, maka pada titik ini secara tidak langsung juga terjadi penyeragaman. Tak lagi arsitektur menjadi diri sendiri dan berusaha untuk menjadi site-specific.

Dalam sistem dan tatanan sosial, masyarakat, serta mekanisme pasar yang berlaku arsitektur tak akan mungkin tidak terbawa arus. Arsitektur mutlak menjadi komoditas semua orang, arsitektur pasti terkomodifikasi, arsitektur pasti akan menuruti keinginan dan kebutuhan masyarakat, dan arsitek pasti akan melacur pada tren untuk mendapatkan klien dan memenuhi kebutuhan perut. Tetapi kini pertanyaannya sejauh apa sih upaya arsitek serta generasi muda calon arsitek untuk mengimbangi komodifikasi serta eksploitasi yang terjadi oleh kapital?

Kesadaran bahwa hakikat utama arsitektur untuk memanusiakan manusia, menjaga keharmonisan alam serta lingkungan binaan, adalah senjata utama arsitek dalam berkarya sebaik mungkin.

Kesadaran untuk mengurangi penggunaan energi.

kesadaran untuk menggunakan material ramah lingkungan

kesadaran bahwa situasi sosial masyarakat kian individualistis dan perlu untuk kembali dipersatukan

kesadaran bahwa arsitektur yang layak bukan hanya milik golongan tertentu saja tetapi seluruh umat manusia

kesadaran bahwa arsitektur yang baik bukanlah yang memanjakan visual saja

kesadaran bahwa tidak semua yang media gembar-gemborkan itu baik dan pelu untuk dianalisa secara kritis

kesadaran bahwa arsitektur tak akan bisa dari segala konteks yang melingkupinya

Pada akhirnya ini kesadaran ini kembali memunculkan pertanyaan baru bagi saya. Sejauh manakah kita harus berkompromi dengan komodifikasi? Apakah kini komodifikasi adalah proses kapitalisasi yang mutlak, sehingga komodifikasi itu sendiri menjadi konteks dalam berarsitektur?

Punk Pensiun

Pada akhirnya, semakin mereka dewasa, punk menyerah untuk sepenuhnya mengalienasi diri dari sistem yang berlaku. Pentolan mereka sendiri yang pada akhirnya berkompromi dengan komodifikasi. Punk itu sendiri yang akhirnya menyadari bahwa untuk kebutuhan mengisi perut mereka tak bisa lepas dari sistem yang ada, mereka sendiri yang mengobral budaya mereka menjadi komoditas.

Tulisan asli diunggah di kommunars.com

Disunting oleh penulis pada 25 Januari 2016

 

Evan Adi Wijaya, a Seattle born, Bandung based aspiring architect. Loves to hum, and visualizing consequences of space in mind. Passionate in architecture, urban design, music, and visual art.

bottom of page