top of page
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.

Semangat Biologi dan Ideologi Abad ke-18 di Perancis

Perkembangan ilmu biologi dan filsafat di Eropa pada abad ke-18 menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang berdampak tidak hanya pada kehidupan keagamaan tapi juga pada kehidupan politik di negara-negara di Eropa. Kehidupan sosial dan nilai-nilai moral yang ditegakkan sampai abad ke-18 di Eropa berdasar pada nilai-nilai keagamaan tentang Tuhan dan hari penghakiman.

Apa yang berkembang pada biologi abad ke-18 di Eropa, khususnya di Perancis adalah penelitian mengenai kuman, sel dan strukturnya serta terhadap embrio dan janin baik dari tumbuhan maupun hewan. Malebranche menemukan bahwa rangka dari bakal bunga tulip terdapat pada bunga tulip dewasa. Di lain pihak, Malphigi mempelajari embrio pada sel telur ayam betina dan Jan Swammerdam mempelajari telur katak. Keduanya telah mempelajari bahwa ‘bentuk awal’ dari bakal makhluk hidup yang baru terdapat pada induknya. Selanjutnya, kegairahan ini terus berkembang dan banyak ilmuwan mencari jejak penciptaan pada telur-telur hewan dan tunas tumbuhan lain. Beberapa percaya bahwa sel sperma sudah memiliki ‘kehidupan’ karena telah mampu bergerak untuk mencapai sel telur dan sel telur merupakan sel yang belum memiliki ‘kehidupan’ sedang yang lain percaya bahwa keduanya sudah memiliki ‘kehidupan’.

Yang menjadi sorotan filosofis pada penelitian biologis yang berkembang di abad ke-18 adalah bagaimana ‘Tuhan’ bekerja menghembuskan kehidupan pada bakal janin yang bisa disebut sebagai proses preexistence. Hasil penelitian dan perkembangan biologi mengenai kuman dan janin melahirkan beberapa pandangan mengenai genesis atau penciptaan. Beberapa percaya bahwa terdapat mekanisme pada pra-eksistensi menuju eksistensi, bahwa kelahiran merupakan mekanisme yang tersusun baik oleh proses alami ataupun oleh suatu kekuatan yang dipercaya sebagai aksi kreasi dari Tuhan. Perrault, ilmuwan lain yang ikut serta dalam kegairahan ini dalam bukunya La Mechanique des Animaux mengatakan bahwa dunia mampu membentuk dirinya sendiri dengan materi yang berasal bahkan dari kekacauan. Meski begitu para ilmuwan lain mengemukakan bahwa keterbatasan pemahaman manusia mengenai pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab selalu menjadi sangkalan yang efektif untuk menjawab atheisme.

Voltaire yang merupakan seorang filsuf dan banyak menulis kritik pada saat itu tidak setuju dengan konsep atheisme. Menurutnya, para atheis terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Voltaire melakukan oposisi terhadap beberapa ilmuwan sekaligus atheis saat itu dan salah satu yang Needham. Baginya, orang-orang atheis tidak punya kebaikan untuk disebarkan. Atheisme tidak mampu menyangkal adagaium ‘jam membuktikan pembuat jam’. Meski begitu, menurutnya atheisme juga memiliki sisi baik, “Jika Tuhan tidak ada, maka kita perlu menemukannya”. Ia dan Needham berpolemik lewat pamflet yang terbit sekitar tahun 1765. Wacana tentang keajaiban serta pandangan tentang preformation dan preexistence serta materialism menjadi perdebatan di antara keduanya.

Voltaire yang meski mempertahankan konsep ketuhanan saat itu ternyata tidak hanya berhadapan dengan atheisme namun juga melakukan banyak kritik terhadap dogma gereja. Saat itu, visi deistik yang ia kembangkan mengenai penciptaan dan konsep Tuhan serta alam semesta kerap dianggap sebagai ajaran sesat.

Tokoh lain pada era pencerahan di abad ke-18 adalah Diderot. Diderot merupakan seorang biologis yang banyak belajar dari Needham. Ia banyak memfokuskan kajiannya pada masalah ‘hidup’ dan ‘mati’. Diderot mengatakan bahwa benda yang hidup dan benda yang mati sangat dekat. Jika makhluk hidup mendapatkan kehidupannya dari benda mati, maka benda mati juga dapat dikatakan ‘hidup’ karena memberikan kehidupan bagi makhluk hidup. Melalui ‘kacamata’ Needham yang melihat bahwa terdapat desain kecil dan aktifitas kehidupan pada benda kecil, ia berpendapat bahwa alam semesta dan setiap benda di dalamnya sudah hidup. Meskipun sebelumnya ia mengikuti Voltaire dan paham deismenya,

Diderot bersama gerakan anti-cleric dan ateis berusaha menghapuskan konsep tradisional mengenai ketuhanan. Baginya, konsep penghadiahan dan penghukuman ketika manusia mati nanti harus diganti dengan konsep penghadiahan dan penghukuman ketika manusia hidup melalui hukum yang ada di masyarakat. Diderot menjebak dirinya pada bahaya. Lewat artikelnya mengenai kritik sosial mengenai otoritas politik dan kampanye anti-cleric, ia bersama teman-teman filsufnya yang menulis encyclopedie, jurnal pengetahuan dan penelitian di Perancis saat itu diancam untuk dilarang menulis dan menyebarkannya lagi.

Terjadi krisis antara Raja Louis ke-15 dan parlemen yang berujung pada perang saudara di Perancis selama tujuh tahun. Meski krisis sempat reda dan encyclopedie dapat terbit lagi, krisis yang berlangsung antara monarki dan parlemen di Paris membuat banyak anggota parlemen dihukum dan diusir dari kota-kota besar. Diderot khawatir, parlemen sebagai kekuatan rakyat untuk melawan tirani monarki menjadi lemah sehingga rakyat nantinya akan mudah ditindas.. Ia merasa bahwa monarki dan kaum aristokrat yang berlandas pada konsep agama dan berkuasa saat itu sudah tidak berjalan dengan semestinya. Ketika pemerintahan gagal menghadirkan kehidupan yang lebih baik seperti yang mereka bicarakan dengan menggunakan kitab suci, maka ia patut digulingkan.

Meski Diderot dan mungkin para biologis dan filsuf di Perancis saat itu tidak terlibat langsung pada revolusi Perancis hingga 1799, kita melihat bahwa ide yang terdapat dari perkembangan biologi dan ilmu pengetahuan juga filsafat di era tersebut mampu menggulingkan monarki dan melakukan revolusi. Selanjutnya, perkembangan ideologi di Perancis saat itu menghadirkan ideologi baru yakni kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan.(fraternite). Ideologi ini berpengaruh besar pada perlawanan terhadap monarki dan kerajaan yang dianggap despotik dan pengaruh serta penyeberannya dapat dilihat di Eropa pada abad ke-19.

Sebelumnya, Filsuf Perancis lain, Pierre Bayle di abad ke-17 telah terlebih dulu mempertanyakan “Apakah masyarakat atheis dapat lebih bermoral?”. Jika gairah ateisme yang berkembang di Perancis pada abad ke-18 dikatakan berpengaruh terhadap revolusi dan konfrontasinya terhadap dogma gereja pada pemerintahan dapat dikatakan berhasil, maka perenungan yang lebih panjang mengenai moralitas terhadap pandangan atheisme masih memiliki perjalanan yang panjang. Nyatanya revolusi Perancis tahun 1799 itu tak lantas mendirikan pemerintahan yang ideal.

Di lain sisi, biologi baru mengalami pembentukan jalan yang baik saat Louis Pasteur dianggap mematahkan teori abiogenesis dengan percobaan sederhana dengan 3 toples berisi daging dan lalat. Meski nantinya penelitian biologi yang lebih modern mengembangkan diskursus abiogenesis lagi karena penemuan DNA dan RNA, pemisahan sains dan agama serta ideologi berperan meredakan ketegangan dan terlebih memberi fokus pada biologi. Penelitian di awal abad ke-19 itu menjadikan penelitian biologis lebih memiliki arah dan berperan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan untuk melawan penyakit dan pengobatan. Dapatlah dilihat bahwa ketika ilmu pengetahuan dipisahkan dari sensitivitas agama, politik, dan ideologi, ia berperan besar untuk memajukan kehidupan manusia.

 

*Penulis menghimpun pengetahuan dari buku Biology and Ideology from Descartes to Dawkins yakni pada bagian ke-2 yang berjudul 'biology, atheism, and politics in 18th century France'.


bottom of page