top of page
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.

Mitos, Peradaban, dan Samasthamarta.

Apa itu Mitos ? Disini saya akan mengupas fungsi dan jejak mitos dalam sejarah dan juga pengaruhnya pada peradaban manusia. Tulisan ini juga terkait dengan wawancara kami dengan Rully Shabara tentang proyek Zoo yang ia kerjakan, dan juga dengan album Samastamartha dari Zoo. Untuk detail proyek Samasthamarta bisa diunduh di sini

Hampir setiap hari saya melihat – lewat kaca mobil, jendela bus, dan jalan – sosok Gunung Tangkuban Parahu. Saya pernah besar di kota Bandung, sehingga saya mengenal baik mitos Gunung Tangkuban Parahu dan Legenda Sangkuriang. Sewaktu kecil saya bertanya pada diri sendiri, Seberapa kuat kaki Sangkuriang sehingga dapat menendang perahu sampai perahu itu terbalik dan menjadi gunung? Seberapa besar perahu tersebut? Mengapa seorang manusia bisa lahir dari kencing babi?

Saya sendiri tidak pernah sepenuhnya meninggalkan mitos. Di Riau, saya mengenal Legenda Putri Tujuh dan mitos orang bunian. Di satu titik dalam kompleks perumahan Chevron, Pak Effendi, supir kantor ayah saya menceritakan mitos baru yang saya sukai hingga saat ini. ‘Jangan pernah menyebut Gajah disekitar sini, nanti beneran datang. Panggil saja Datuk’ ujarnya. Datuk adalah gelar yang bermakna sama dengan raja. Ini bukanlah sebuah candaan, karena titik tersebut terkenal dengan serangan gajah liar yang mengamuk dan terkadang membunuh manusia.

Saya tumbuh besar di kota dan menjadi bagian dari generasi yang dimanja teknologi. Mitos yang saya kenal adalah cerita yang saya dapat di masa kecil. Tidak ada ruang bagi mitos dalam perkembangan teknologi. Sekitar tujuh abad yang lalu, vatikan memisahkan diri dari perkembangan sains dan menganggap perkembangan ilmu pengetahuan sebagai penyimpangan. Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri menghasilkan produk berupa manusia modern dan kita adalah bagian dari produk tersebut.

Manusia modern bisa dibilang menganggap mitos sebagai dongeng dan cerita untuk menumbuhkan rasa takut dan taat kepada anak kecil. Manusia modern adalah manusia sains yang bergantung pada teknologi, tidak ada tempat untuk mitos bagi manusia modern. Tapi mari kita menilik kembali dari awal, apa arti dari mitos itu sendiri?

Mendefinisikan Mitos

Kamus Webster mengartikan Mitos, atau Myth sebagai cerita masyarakat yang seolah-olah menjadi sejarah. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan mitos sebagai cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta akam, manusia, dan bangsa tersebut dan diungkapkan secara gaib.

Jakob Sumardjo dalam buku Simbol-Simbol Mitos Pantun Sunda mengartikan mitos sebagai pedoman dan arah tertentu kepada masyarakat, bagaimana seharusnya manusia-manusia dalam masyarakat tersebut bertingkah laku sehari-hari. Mitos adalah a way of life bagi masyarakat yang mempercayai mitos tersebut. Mitos dengan demikian memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi karena cerita-cerita tersebut adalah riwayat yang sebenar-benarnya tentang kenyataan semesta ini.

Dari penjelasan di atas, kita bisa mengelompokkan Agama sebagai mitos, karena agama memiliki peran yang serupa. Seorang muslim harus mempercayai narasi yang dibawa oleh Islam sebagai kebenaran, sama seperti seorang Kristen harus mempercayai narasi yang dibawa oleh Kristen, dan seterusnya.

Pada tahun 2012, Pew Research Center mencatat populasi pemeluk Kristen sebanyak 31.5 % dari penduduk dunia, Islam sebanyak 22.32%, Sekuler/Agnostik/Atheis 15.35%, Hindu 13.95%, Buddha 7.1%, dan sisanya diisi oleh Yahudi dan kepercayaan lokal. Hampir seluruh manusia mempercayai mitos. Terlepas dari ekspansi kekuasaan, perkembangan sains dan teknologi, serta peperangan (ironisnya, banyak dari peperangan disebabkan untuk mempertahankan narasi mitos-mitos yang ada) mitos tetap bertahan.

Mengadakan yang tiada

Dalam mitos, seringkali dikisahkan perubahan manusia menjadi hewan, tumbuhan, bahkan dewa/dewi. Mitos sangkuriang menceritakan Dayang Sumbi lahir dari air kencing Raja Sungging Perbangkara yang diminum oleh Celeng Wayung Hyang. Cerita ini tentu tidak sesuai dengan logika dan akal sehat. Tapi itulah yang dinamakan kepercayaan, karena jika tidak, kisah tersebut hanya menjadi dongeng belaka. Akan tetapi bukan berarti keajaiban tersebut irasional, melainkan rasional dalam epistemologi manusia kuno. Eksistensi bukan hanya milik dunia manusia, tapi juga milik dunia langit, laut, bumi dan metafisik.

Fenomena adalah totalitas itu sendiri. Ritual selalu sarat akan peraturan yang tidak boleh dilanggar, dan memiliki konsekuensi yang berat jika aturan tersebut dilanggar. Karena dalam pelaksanaan ritual tersebut, hadir juga dunia-dunia yang tidak kasat mata – leluhur, dewa, setan – dan dengan melanggar berarti tidak menghormati elemen-elemen lain yang turut hadir di ritual tersebut. Oleh karena itu pada praktek pembacaan pantun, juru pantun diharuskan melakukan ritual tertentu dan yang mengadakan acara pun harus menyediakan hal-hal yang menjadi syarat, karena dalam pembacaan pantun, juru pantun akan menghadirkan dunia langit ke ruangan.

Untuk memahami mekanisme pemikiran mitos, kita perlu mengetahui bahwa bagi manusia yang mengimani mitos tersebut, realitas adalah imitasi dari arketipe surga. Sejalan dengan pernyataan Barthes yang mengartikan mitos sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu dengan tujuan untuk memberikan etos, ideologi atau suatu nilai dan aturan seolah-olah aturan tersebut nyata (benar-benar ada di dunia). Bagi manusia mitos, surga memiliki elemen-elemen ideal yang tidak dimiliki oleh realita manusia – keabadian, keteraturan (bebas dari segala chaos), pengetahuan tidak terbatas dan seterusnya.

Akan tetapi ada mitos yang ‘benar’ dan mitos yang ‘salah’. Salah dengan artian bahwa cerita tersebut tidak memiliki kriteria untuk menjadi sebuah mitos. Mitos yang ‘benar’ bercerita tentang kekuatan supranatural. Suku Indian Pawnee memiliki tingkatan yang jelas untuk mitos jenis ini. Tingkatan pertama adalah mitos yang berceritakan tentang penciptaan dunia dan isinya. Tingkat kedua bercerita tentang pahlawan (Local Heroes) dan leluhur. Tingkat terakhir bercerita tentang asal dari kekuatan seorang shaman dan shaman itu sendiri. Mitos jenis ini hanya bisa diceritakan di waktu tertentu dan memiliki aturan untuk menceritakannya. Di Tibet dan Mongol, epos Gesar hanya bisa diceritakan malam hari di musim dingin. Sebelum epos diceritakan, tempat duduk penonton ditaburi tepung gandum yang dipanggang. Juru cerita kemudian mengisahkan epos selama berhari-hari tanpa henti. Dikatakan bahwa pada masa lampau, tapak kuda milik Gesar akan muncul di atas tepung.

Sedangkan mitos yang ‘salah’ bisa diceritakan kapan saja, tanpa aturan atau syarat, dan mengisahkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan manusia. Pada suku Pawnee, kebanyak mitos jenis ini menceritakan tentang coyote, – di Indonesia seperti kisah kancil dan buaya – hewan yang dianggap cerdik dan licik. Mitos yang ‘benar’ bersifat sakral, sedangkan yang ‘salah’ profan.

Manusia mitos memiliki tanggung jawab untuk mengetahui mitosnya secara keseluruhan, dan untuk mengulangi beberapa peristiwa yang ada dalam mitos tersebut. Disini tampak perbedaan antara manusia modern – kita – dengan manusia mitos. Bagi manusia modern, peristiwa di masa lampau tidak dapat diulang, sedangkan bagi manusia mitos hal ini bukanlah masalah.

14 Juli 1789 adalah puncak dari Revolusi Prancis, saat kota Bastille jatuh ke tangan pemberontak. Peristiwa ini tidak dapat diulang, dan yang ada hanya peringatan yang menjadikan tanggal tersebut sebagai Bastille Day. Bagi manusia mitos, kejadian ab origine1 dapat diulang melalui ritus. Karena itu bagi manusia mitos, pengetahuan total akan mitos sangat esensial, karena mitos memberi penjelasan tentang (asal mula) dunia dan isinya, dan dengan mengetahui mitos ia mampu mengulang apa yang dilakukan oleh subjek mitos itu (Dewa/Dewi /Tuhan, Pahlawan, Leluhur) pada awal penciptaan. Dengan mengetahui mitos, mereka mampu mengumpulkan elemen-elemen yang esensial untuk ‘mengulang’ penciptaan itu sendiri. Mereka mampu ‘mengadakan’ apa yang sudah tidak ada.

Samasthamarta

Jeda

Alam akan selalu – dan akan senantiasa – hadir sebelum kota dan arsitekturnya.

Disini saya mulai akan membahas konsep Samasthamarta yang diajukan oleh Zoo dan kaitannya dengan mitos

Secara singkat, Samasthamarta bercerita tentang sebuah kota yang hancur karena menebang pohon beringin yang menjadi satu-satunya sumber air di kota tersebut. Lirik-lirik lagu memiliki tema-tema arsitektur untuk menunjukkan pengaruh suatu bangunan terhadap kebudayaan di sekitar bangunan atau struktur itu berada.

Perkembangan kota tersebut melalui berbagai tahap, dari awalnya kota kecil yang terletak di jalur perdagangan. Seiring bertambahnya populasi kota tersebut dan perkembangan teknologi menyebabkan ditebangnya pohon beringin yang menjadi pusat kota. Hal ini menyebabkan sulitnya air, tingginya polusi udara, serta pemadatan di pusat kota. Air menjadi komoditas yang mewah, sehingga menimbulkan konflik sosial. Sumur yang merupakan bekas pohon beringin tersebut berada menjadi tempat yang disakralkan dan pengambilan air harus melalui ritual-ritual tertentu. Pada tahap akhir, masyarakat telah meninggalkan kota yang telah hancur dan tinggal di bawah tanah melalui sumur Samasthamarta, dan sumur tersebut menjadi arsitektur yang disakralkan dan mitosnya berkembang ke generasi mendatang.

Samasthamarta

Arsitektur kuno memiliki kaitan yang erat dengan mitos. Dalam kepercayaan Mesopotamia, Sungai Tigris merupakan model dari Bintang Anunit dan Sungai Efrat dari Bintang Swallow. Naskah Sumeria mengatakan ada tempat dimana dewa-dewa diciptakan dan merupakan tempat yang subur bagi ternak dan tanaman (pertanian). Bagi kaum Ural-Altaic gunung memiliki prototipe ideal di langit. Bangsa mesir mengimitasi rasi bintang dalam perancangan pyramid. Kosmologi Zaravinitik di Iran mengatakan bahwa setiap fenomena di bumi parallel dengan fenomena langit. Setiap hal menampilkan dirinya sendiri dalam aspek ganda, yaitu mênôk dan gêtîk. Pada langit yang tampak, ada mênôk langit yang tidak tampak. Dunia manusia memiliki hubungan dengan Dunia Langit (Surga). Setiap hal dalam dunia manusia, gêtâh, memiliki model ideal yang merepresentasikan realita yang sebenarnya. Singkatnya, apapun yang terjadi pada gêtâh adalah mênôk.2

Kota-kota Babylonia memiliki arketipe pada rasi bintang. Sippara meniru rasi bintang Cancer, Nineveh dari Ursa Major, Assur dari Arcturus dan masih banyak lagi. Sennacherib membangun Nineveh berdasarkan ‘petunjuk langit’. Model kota pun tidak melulu mengadaptasi arsitektur langit, tapi juga mengambil model ideal dari surga itu sendiri. Pada perjanjian lama, Solomon dituliskan berkata, “Engkau memberi perintah untuk membangun tempat ibadah di bukit suci, dan altar di tempat tinggal-Mu, sebagai Salinan dari tempat pertemuan yang telah Engkau siapkan sedari semula!”3. Di India, Kota-kota penting dibangun berdasarkan Kerajaan Surga pada Zaman Keemasan (in illo tempore). Raja berusaha mengimitasi surga dalam realita. Istana Sigiriya di Ceylon memiliki model asli dari Kota Alakamanda di Surga.

Dari Paparan di atas, kita dapat melihat bahwa setiap penciptaan oleh manusia didasari dari arketipe surgawi (celestial). Tentunya proses imitasi ini memiliki acuan yang berbeda sesuai dengan lingkungan tempat imitasi itu dilakukan. Arketipe surgawi menurut masyarakat gurun pasir tentu berbeda dengan mereka yang tinggal di pegunungan. Wilayah yang tidak terjamah, tidak pernah didatangi, dan masih liar dianggap sebagai perlambang kekacauan (chaos)4. Karena itu setiap adanya pendudukan tempat baru, diadakan ritual yang menyimbulkan Penciptaan Pertama (Penciptaan Dunia) menurut kepercayaan mereka. Proses ini dilakukan untuk menjadikan yang tidak teratur (chaos) menjadi teratur (order).

Saat bangsa Skandinavia menginvasi Islandia, hal tersebut dianggap sebagai imitasi dari penciptaan. Dengan menanami tanah yang diduduki, mereka telah mengulang proses penciptaan yang mengubah chaos dengan memberi bentuk dan aturan. Ekspansi territorial tidak sah jika tidak melalui ritual (yang meniru penciptaan dunia). Conquistador melakukan ekspansi atas nama Yesus dan puncak dari ekspansi tersebut adalah penempatan salib yang melambangkan pembaptisan atau kelahiran kembali dari tanah yang mereka duduki. Bangsa Inggris melakukan hal yang sama, hanya ekspansi dilakukan atas nama Raja.

Pembacaan pantun selalu diawali oleh Rajah Pamunah. Disini juru pantun membersihkan tempat ia memantun dari segala chaos yang destruktif, yang tidak terstruktur dan tak terkendali. Oleh karena itu, penonton tidak dibolehkan untuk mengotori tempat yang sudah ‘disucikan’ tersebut. Rajah ini berfungsi sebagai repetisi dari Penciptaan itu sendiri.

Secara singkat, hal yang ingin saya tekankan adalah sebagai berikut. Peradaban yang kita lihat saat ini, yang dimana kita hidup di tengah-tengah hingar-bingarnya adalah hasil campur tangan manusia yang meniru ide ‘surga’ yang ia percayai melalui proses mengubah chaos menjadi order secara terus menerus. Dari proses ini kita akan melihat bahwa manusia adalah mahluk yang mengorganisir ruang, dengan mengusir chaos dan menanamkan keteraturan di tempat yang mereka tinggali. Proses pengaturan ruang tersebut mengimitasi apa yang terjadi dalam mitos mereka untuk membangun berdasarkan ‘surga’ yang mereka percayai – khususnya mitos penciptaan dunia dan isinya. Hal ini menunjukkan bahwa peradaban manusia yang terjadi saat ini dibangun berdasarkan mitos yang dipercayai oleh pendahulu kita.

Simbolisme Pusat

Satu hal yang menarik perhatian saya saat pertama melihat skema kota Samasthamarta adalah penempatan pohon beringin di tengah kota. Hampir setiap mitos yang saya temui memiliki konsep Simbolisme Tengah. Mircea Eliade menjabarkan Konsep ini menjadi:

  1. Gunung Suci – dimana langit (surga/dunia atas) dan bumi (dunia tengah) bertemu – yang menjadi pusat dunia.

  2. Setiap kuil (tempat suci) dan istana (tempat tinggal raja) adalah Gunung Suci itu sendiri, sehingga menjadi pusat dunia.

  3. Tempat tersebut menjadi titik pertemuan Surga dan Dunia.

Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru berada di pusat dunia dan diatasnya adalah tempat Bintang Utara berada. Bangsa Persia percaya bahwa Gunung Al-Burz berada di pusat dunia dan terhubung dengan dunia atas. Pada ritual pembacaan pantun masyrakat sunda, ritual diadakan di ruang tengah rumah dan juru pantun menghadirkan dewa ke ruangan, menjadikan rumah tersebut terhubung dengan dunia atas. Gunung Golgotha dianggap sebagai pusat dunia, dimana adam diciptakan dan dimakamkan, dan darah Yesus jatuh tepat di atas makamnya.

Karena menjadi pusat dari kosmos, tempat-tempat tersebut menjadi titik temu bagi dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Babilon memiliki banyak nama, salah satunya adalah Penghubung Surga dan Bumi. Akan tetapi, Babilon juga dibangun di atas bab apsi, Gerbang Apsu5, apsu lah yang menjadi kekacauan sebelum adanya Penciptaan.

Konsep Gunung Suci ini juga dikenal sebagai Axis Mundi, yang sering diasosiasikan dengan Mandala. Pengertian mandala sendiri secara harfiah adalah lingkaran. Lebih jauh lagi, lingkaran dalam bujur sangkar atau bujur sangkar dari lingkaran. Lingkaran ini berarti pusat, dan bujur sangkar yang mengurungnya adalah arah ke segenap ruang. Pusat dari lingkaran tersebut adalah tempat ritual, dan oleh karena itu, suci. Pusat mandala adalah tempat yang suci dari chaos, dan merupakan ruang keteraturan yang dikitari oleh ruang chaos yang tidak terstruktur. Dengan demikian, mandala adalah kesempurnaan dalam segala kelengkapan kosmiknya. Hal ini juga ditekankan oleh Mircea Eliade dalam Symbolism of the Centre, “Setiap Mikrokosmos, setiap tempat memiliki Pusat; Tempat yang paling suci”.

Struktur Mandala
Mandala dalam konstruksi candi

Perjalanan ke Pusat

Sebenarnya, ada paradoks yang terlihat pada konsep mandala dan Pusat Dunia. Banyak mitos yang menyatakan bahwa setiap rumah adalah Pusat Dunia. Konstruksi Rumah Sunda memelihara konsep mandala, begitu pula dengan Konstruksi Rumah di Kampung Naga. Pusat Dunia bertebaran dalam bentuk rumah, kuil dan bangunan. Akan tetapi, mitos yang sama juga menyatakan bahwa jalan untuk mengakses Pusat Mandala dipenuhi dengan halangan dan hampir tidak dapat diakses. Perjalanan ke pusat sangat sulit, meski pusat itu sendiri bertebaran.

Pada mitos Parsifal dan Raja Nelayan, diceritakan sang Raja yang mengetahui rahasia dari Graal (Holy Grail) tengah sekarat karena suatu penyakit yang misterius. Kerajaannya hancur perlahan, tanaman tidak berbuah, hewan ternak tidak beranak, dan sumber air mengering. Tidak ada satupun orang yang mampu menyembuhkan penyakit sang Raja, hingga suatu hari seorang anak bernama Parsifal, yang dikisahkan telah menempuh berbagai ujian, dengan pakaian kotor dan penampilan lusuh, datang tanpa sedikitpun mengindahkan tata krama kerajaan. Ia menemui sang Raja dan tanpa basa-basi langsung bertanya, ‘Dimanakah Graal (Holy Grail)?’ Seketika, situasi berbalik, sang Raja kembali sehat, pohon kembali berbuah dan seterusnya. Pertanyaan singkat Parfisal melahirkan kembali kehidupan ke Kerajaan. Akan tetapi, tidak ada yang pernah terpikir untuk menanyakan pertanyaan tersebut. Mitos ini menggambarkan bahwa pusat dari Mandala itu sendiri sederhana, dalam mitos ini berupa pertanyaan singkat, akan tetapi tidak semudah itu mendapatkannya.

Dalam Samasthamarta, Pohon beringin menjadi pusat kota(Dunia) dan sumber air bagi masyarakatnya. Suatu objek menjadi suci karena objek tersebut adalah manifestasi dari kesucian itu sendiri, yang tidak dimiliki manusia. Akan tetapi objek (bisa berupa tindakan) tesebut tidak memiliki nilai intrinsik yang otonom, kesucian itu tidak dimiliki dengan sendirinya. Nilai didapatkan karena objek tersebut berpartisipasi dengan realita di sekitarnya. Pohon Beringin Samasthamarta memberikan air (kehidupan) bagi masyarakatnya. Kehidupan itu sendiri dipandang sebagai sesuatu yang suci oleh manusia kuno.

Tradisi Buffalo Dance dari suku Indian Black Foot dilakukan untuk ‘menghidupkan kembali’ kerbau yang telah mereka bunuh. Oleh karena itu pohon Beringin Samasthamarta menjadi manifestasi kesucian itu sendiri, dan menjadi pusat mandala, sedangkan kota yang mengelilingi pohon adalah ruang chaos yang tidak terstruktur. Akan tetapi, pohon tersebut belum dianggap suci karena belum ada tindakan partisipatif dari manusia sekitarnya, yang terjadi malah eksploitasi yang berujung pada penebangan pohon tersebut. Pusat Mandala adalah tempat terjadinya harmoni antara dunia atas (celestial) dan dunia bawah (manusia), harmoni antara yang abadi dan sementara. Penebangan berarti menghancurkan pusat mandala, yang merupakan ruang keteraturan, dan berakhir pada kehancuran kota.

Ada kesamaan yang saya lihat antara narasi Samasthamarta dengan mitos Parsifal. Pada mitos Parsifal, Raja Nelayan adalah pusat dari mandala6. Saat pusat dari mandala hancur – saat raja sekarat – ruang disekelilingnya pun ikut hancur (kerajaannya hancur). Hal ini paralel dengan apa yang terjadi saat pohon beringin Samasthamarta dihancurkan, menyebabkan kota Samasthamarta itu sendiri hancur. Masyarakat Samasthamarta lalu menyadari filosofi Samasthamarta itu sendiri, untuk menjadi abadi bukanlah menjadi tinggi melainkan sejajar dengan tanah. Dalam mitos Parsifal, filosofi ini berbentuk pertanyaan singkat, “Dimanakah Graal?”

Seperti kisah Parsifal, jawaban dari permasalahan Samasthamarta sangat sederhana, tapi tidak semudah itu didapatkan. Suatu perbuatan menjadi tradisi karena adanya repetisi yang diteruskan secara turun temurun dan kontinu. Untuk memelihara pengulangan ini, dibutuhkan sebuah narasi yang simbolik akan nilai atau pesan yang ingin dipertahankan. Maka, lahirlah Samasthamarta.

Mitos Hari ini

Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda kuno. Benda-benda tersebut dapat berupa patung, bangunan, tulisan, bahkan tulang-tulang manusia atau binatang. Benda-benda ini merupakan produk dari waktu dan ruang tertentu, dan oleh karena itu dapat menjelaskan alam pikiran masyarakat tersebut. Alam pikiran ini mengendap dan menjadi nilai yang diturunkan melalui tradisi. Umumnya arkeologi pikiran ini mengatur cara makan, apa yang dimakan, bagaimana mengolah makanan dan cara mendapatkan makanannya.

Hidup kita didasarkan pada satu fakta: Suatu kehidupan harus membunuh dan memakan kehidupan lain untuk terus bertahan hidup. Menurut Joseph Campbell, fungsi pertama dari mitologi adalah menyediakan ruang bagi manusia untuk mengadakan rekonsiliasi dan menerima fakta ini. Hasil dari rekonsiliasi ini berupa rasa terima kasih dan rasa hormat, setiap kehidupan yang dikonsumsi dipandang sebagai sesuatu yang suci dan dibutuhkan aturan-aturan tertentu sebelum atau sesudah memakan kehidupan tersebut. Hilangnya jembatan antara manusia dan fakta yang menjadi pondasi kehidupan, secara bersamaan manusia akan kehilangan ruang rekonsiliasi tersebut sehingga yang terjadi adalah konsumsi atas nama konsumsi itu sendiri, tanpa menyadari akan konsekuensi dari usaha manusia untuk bertahan hidup.

Roda zaman terus berputar. Narasi dan mitos lama sebagian ditinggalkan, sebagian bertahan. Mitos yang bertahan terbagi menjadi yang mempertahankan narasi aslinya dan yang mengawinkan mitos tersebut dengan lingkungan dan ruang yang berubah, menjadi mitos baru. Mitos adalah narasi yang tidak selalu teoritis dan dipenuhi simbol-simbol. Maka dari itu, mengartikan simbol secara harfiah adalah kesalahan fatal. Sama seperti kekeliruan saat menganggap simbol sebagai apa yang direferensikan oleh simbol itu sendiri. Heinrich Zimmer pernah mengatakan bahwa hal yang terbaik tidak bisa disampaikan, karena sudah melampaui akal manusia. Dibawahnya terdapat hal yang kita bicarakan, tapi selalu disalah artikan, karena hal tersebut mengacu pada sesuatu yang melampaui akal, dan yang terakhir adalah hal yang bisa kita mengerti dan kita bicarakan. Lalu apa yang direferensikan oleh simbol dan mitos yang bertebaran sepanjang peradaban manusia? Mengapa pendahulu kita memegang kuat mitos?

Terry Pratchett, penulis novel Discworld, mengenalkan saya pada suatu konsep knurd, suatu konsep yang sangat saya sukai. Dalam bahasa inggris, mabuk diartikan sebagai drunk dan sadar (dari mabuk) diartikan sebagai sober, dan jika kita perhatikan knurd didapat dari membalik kata drunk itu sendiri. Terry Pratchett berargumen (atau bercanda) bahwa knurd bukanlah kondisi kesadaran yang kita alami, dan membagi jenis kesadaran sebagai berikut:

  1. adalah saat kita tidak dapat menggunakan panca indera kita untuk melihat realita akibat konsumsi alkohol atau zat lain.

  2. Sober adalah saat kita mampu melihat realita menggunakan panca indera, akan tetapi kita membuat ilusi dan cerita tertentu yang memberi jarak antara kita dan realita, agar kita dapat menjalani hidup dengan normal.

  3. Knurd adalah saat kita melihat realita dengan seutuhnya tanpa ilusi (yang kita buat sendiri). Kondisi ini membuat kita berada di tempat yang tidak boleh dijangkau oleh kesadaran manusia, karena kita tidak akan mampu mencernanya.

Meminjam istilah yang diciptakan Terry Pratchett, menurut saya mitos berfungsi untuk menjaga jarak antara sober dan knurd, karena manusia adalah mahluk yang serba terbatas. Membunuh dan memakan kehidupan yang lain adalah sifat dari mahluk hidup, akan tetapi melakukan ritus untuk menghargai kematian yang jadi dasar atas berlangsung dan berlanjutnya kehidupan kita adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan manusia. Mitos adalah apa yang membuat manusia manusiawi. Mitos adalah akar dari peradaban manusia yang bertahan hingga saat ini. Tanpa akar, pohon akan mudah tumbang. Apa yang terjadi pada manusia yang kehilangan mitosnya, atau lebih tepatnya yang narasi mitosnya bergeser perlahan menjadi narasi konsumtif? Untuk mengetahuinya, kita hanya perlu menyalakan televisi dan menonton berita.

 

Catatan Kaki:

  1. Kejadian saat Permulaan, Kejadian saat pertama kali dilakukan

  2. Menurut HS. Nyberg, Mênôk:Selestial, tidak dapat dibagi dan sempurna. Gêtîk: Duniawi, dapat dilihat dan nyata secara materi, tetapi tidak nyata dibanding materi yang kita tahu. Secara garis besar merupakan manifestasi dari mênôk.

  3. Thou gavest command to build a sanctuary in thy holy mountain, and an altar in the city of thy habitation, A copy of the holy tabernacle which thou preparedst aforehand from the beginning. Wisdom of Solomon 9:7–8

  4. Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca artikel soal monster disini

  5. Jeremias, p.113; Burrows, pp,46if.,50

  6. Beberapa teks menceritakan sekaratnya sang Raja disebabkan oleh luka yang ada di selangkangannya sebagai hukuman karena perzinahan.

Daftar Pustaka :

  1. http://kbbi.web.id/mitos

  2. Sumardjo, Jakob, “Simbol-Simbol Mitos Pantun Sunda.” Kelir, Bandung, 2013.

  3. The Global Religious Landscape, http://pewforum.org/2012/12/18/global-religious-landscape-exec/

  4. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=148113&val=4919&title=Kosmologi%20dan%20Pola%20Tiga%20Sunda

  5. Joseph Campbell, The Power of Myth.

  6. Joseph Campbell, The Celebration of Life

  7. Eliade, Mircea, “Images and Symbols.” Sheed & Ward, 1961.

  8. Eliade, Mircea, “Cosmos and History” Harper & Bros., 1959.

  9. http://www.firstpeople.us/FP-Html-Legends/ThePiquedBuffalo-wife-Blackfoot.html

  10. http://www.firstpeople.us/FP-Html-Legends/TheStoryoftheBuffaloDance-Blackfoot.html

bottom of page